Petani di Jember Menolak Rencana Pengalihan Subsidi Pupuk menjadi Bantuan Langsung

by -53 Views

Agenda pertemuan petani dan asosiasi kios pupuk membahas penolakan wacana BLP di salah satu rumah makan di Kecamatan Balung, Jember, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024). (Foto: Istimewa)

SUARA INDONESIA, JEMBER – Wacana pengalihan subsidi pupuk menjadi bantuan langsung petani (BLP) yang digulirkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, mendapat penolakan di tingkat daerah.

Di Jember contohnya, para petani yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), serta Asosiasi Kios Pupuk, sepakat menolak wacana tersebut.

Mereka menilai, subsidi dalam bentuk bantuan langsung itu kontraproduktif dan rentan meleset dari sasaran. Sebab, selain data petani yang hingga kini masih amburadul, di tingkat bawah juga ada klaster petani. Seperti petani pemilik sawah, petani penyewa, petani penggarap dan buruh tani.

Belum lagi soal peralihan hak kelola sawah, baik melalui jual beli, gadai atau sewa menyewa. Padahal, yang masuk dalam Sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Elektronik (e-RDKK) adalah pihak pertama. Dan e-RDKK inilah yang selama ini menjadi acuan pemerintah menggelontorkan pupuk subsidi ke petani.

“Lalu bantuan itu disalurkan kepada siapa? Apakah petani pemilik sawah, penggarap atau penyewa. Dan semisal adalah peralihan hak kepemilikan sawah, lantas siapa yang berhak menerima? Pemilik pertama atau pembeli sawahnya?” ucap Hendro Handoko, Sekretaris KTNA Kabupaten Jember, usai menggelar pertemuan dengan para petani dan Asosiasi Kios Pupuk di salah satu rumah makan di Kecamatan Balung, Jember, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024).

Dia pun meminta pemerintah pusat tak terburu-buru mengeluarkan wacana yang dalam praktiknya justru menimbulkan kerancuan semacam itu. Harusnya, saran Hendro, pemerintah memperbaiki data petani dan sistem yang bakal digunakan sebagai acuan penyaluran subsidi, sehingga bisa tepat sasaran.

“Bahkan, ada banyak di e-RDKK yang sampai hari ini orang tidak punya sawah dan tidak bertani, tapi masuk dalam data. Sebaliknya, ada yang punya sawah dan bertani, tapi tidak masuk. Makanya, data dan sistemnya harus diperbaiki dulu,” saran petani yang juga Ketua Asosiasi Kios Pupuk Jember tersebut.

Hendro mengungkapkan, di Jember ada sekitar 2.179 kelompok tani. Masing-masing kelompok setidaknya membawahi antara 200-250 petani. Selama ini mereka mengakses rabuk subsidi dari 527 kios resmi yang tersebar di 31 kecamatan dan 248 desa/kelurahan. Artinya, rantai distribusi pupuk subsidi sudah cukup memadai dan gampang diakses oleh petani.

“Dan menurut saya, distribusi pupuk ini akan lancar jika masalah-masalah teknis itu bisa diperbaiki. Contohnya tentang I-Pubers (aplikasi penyaluran pupuk bersubsidi), kadang-kadang satu hari bahkan bisa dua hari terkendala, sehingga tidak bisa menyalurkan,” bebernya.

Senada, Sekretaris HKTI Jember, Hendro Saputro menyampaikan, ada banyak dampak negatif jika wacana BLP benar-benar diwujudkan. Sebagai respons atas wacana tersebut, pihaknya menggelar konsolidasi untuk deklarasi dan penyampaian aspirasi bersama yang rencananya bakal digelar di Gresik pada 18 September nanti.

“Ada banyak elemen yang akan bergabung. Ada HKTI, KTNA, kelompok tani dan gapoktan, hingga pemilik kios. Jumlahnya sekitar 600 orang. Kami akan menyampaikan aspirasi bersama-sama menolak wacana BLP tersebut,” paparnya.

Di lokasi yang sama, Badar, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tunas Harapan Desa Sumberdanti, Kecamatan Sukowono, juga menyampaikan hal serupa. Dia meminta, pemerintah pusat tetap memberikan subsidi melalui pupuk, tidak diberikan dalam bentuk tunai ke petani.

“Kalau subsidi dalam bentuk pupuk seperti sekarang, pasti akan digunakan untuk kegiatan produktif pertanian, bukan yang lain. Tapi jika subsidi uang, apa ada yang menjamin tidak dibelanjakan untuk kebutuhan konsumtif?” ujarnya.

Tak hanya itu, dia menambahkan, melihat fakta di lapangan tentang penguasaan lahan yang masih timpang, subsidi tunai juga rentan menimbulkan kecemburuan. Karena di desa-desa banyak lahan sawah yang justru dikuasai oleh orang-orang kaya yang tak bertani. Bahkan, para pejabat. Mereka memiliki sawah yang disewakan atau pengerjaannya diserahkan ke petani penggarap dengan sistem bagi hasil.

“Jika melihat pola subsidi tunai, maka yang akan mendapatkan adalah pemilik sawah. Bukan petani penggarap. Maka, hal ini berpotensi memunculkan kecemburuan sosial di tingkat bawah. Karena yang menerima subsidi justru bukan orang yang bekerja sebagai petani,” pungkasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta: Redaksi
Editor: Mahrus Sholih