Utang pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencatatkan rekor tertinggi, Rp8.041,01 triliun. Biaya utang yang meroket berpotensi memicu terjadinya krisis.
Dari total utang tersebut, sebanyak Rp6.080 triliun di antaranya merupakan utang luar negeri. Bank Dunia sudah mengingatkan negara-negara berkembang terhadap risiko dari meningkatnya utang.
Utang luar negeri Indonesia makin tidak terkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan beban pembayaran bunga utang luar negeri (ULN) pemerintah mencapai 36,4 persen secara tahunan. Sementara pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5 persen.
Tambahan beban bunga utang menciptakan dikhawatirkan menekan sektor swasta dan perbankan. Likuiditas jadi berkurang, sebab banyak investor memilih parkir dana di surat utang valuta asing (valas) pemerintah dibanding investasi di sektor produktif.
Guru Besar Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Marsuki DEA, mengatakan tren perkembangan utang luar negeri RI saat ini jika dibanding periode pemerintahan sebelum-sebelumnya memang naik cukup drastis.
Jika dihitung sesuai perkembangan data resmi, maka secara rata-rata kenaikannya mencapai 50 persen lebih sejak awal pemerintahan hingga kini.
“Tentu semuanya dimaksudkan untuk membiayai proyek-proyek straregis pemerintah karena masih terbatasnya likuiditas dana anggaran APBN yang direalisasi,” katanya.
Kata dia, dengan perkembangan yang cukup besar tersebut, tentu saja diperhatikan oleh pihak-pihak kritis. Mereka menganggap pemerintah kurang berhati-hati dalam mengelola utang.