Pancasila adalah falsafah hidup yang harus dihayati dan diamalkan setiap hari, bukan sekadar teks yang dihafal semata. Menurut Ibnu Hajar, seorang budayawan Sumenep, gerakan budaya Pancasila harus meresap dalam sikap, perilaku, dan interaksi masyarakat di era digital ini. Ibnu Hajar menyoroti tantangan menjadikan nilai-nilai Pancasila relevan di tengah arus informasi dan budaya asing yang melimpah di era milenial. Oleh sebab itu, pembudayaan Pancasila harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan tokoh publik, serta diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Lebih jauh, Ibnu Hajar menegaskan pentingnya keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong, toleransi, dan saling peduli. Ia menyarankan agar pemimpin dan guru menjadi cermin nilai-nilai tersebut agar sejalan dengan ajaran Pancasila. Di era digital ini, Ibnu Hajar menekankan etika dalam bermedia sosial sebagai wujud kepatuhan terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ia memandang media sosial sebagai ladang gotong-royong informasi, bukan platform caci-maki.
Melalui kegiatan budaya seperti seni, diskusi publik, dan konten kreatif digital, Ibnu Hajar mendorong penyampain nilai-nilai Pancasila secara kontekstual kepada generasi muda. Baginya, Pancasila adalah payung bagi keberagaman Indonesia, yang mesti dirawat tidak hanya di tingkat resmi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Di saat bangsa dihadapkan pada ancaman disintegrasi dan intoleransi, Ibnu Hajar menyerukan agar Pancasila menjadi kompas moral yang membantu bangsa ini menghadapi tantangan zaman dengan kokoh.
Sebagai penutup, Ibnu Hajar menyerukan agar Hari Lahir Pancasila menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila sebagai budaya hidup, bukan sekadar pidato. Jika nilai-nilai Pancasila hidup dalam diri setiap individu, bangsa Indonesia akan mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan zaman yang cepat.
