Leadership of Indonesian National Leaders: President Sukarno

by -93 Views
Leadership of Indonesian National Leaders: President Sukarno

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuatan asing yang congkak dan sombong. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual, orator, dan organisator yang hebat. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari darinya bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno merumuskan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga saat ini.

Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan waktu itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa itu, beliau aktif bekerja untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta membentuk dasar pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian anda pada beberapa peristiwa sejarah yang signifikan yang secara signifikan memengaruhi arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti yang bisa dibayangkan, pada saat itu, negara kita niscaya tidak memiliki apa-apa. Tapi Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: ‘Saudara-saudara, para saudara sebangsa! Saya telah mengumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan selama ratusan tahun! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, namun semangat kita tetap pada mewujudkan tujuan kita.”

Juga, selama penjajahan Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan tidak pernah surut.’ Mungkin tampaknya kita bergantung pada Jepang, tapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang saatnya benar-benar mengendalikan nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengontrol nasibnya sendiri yang akan dapat berdiri tegak dan bangga. ‘Maka [pada hari yang lalu] kita telah berunding dengan pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kami telah mencapai konsensus bahwa sekarang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Kita dengan tegas menyatakan:’ Seseorang dapat membayangkan keadaan pikiran Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Deklarasi ini memicu pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Kita tidak memiliki apa-apa pada saat itu. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa dari arsenaal Belanda dan Jepang yang berhasil kita rebut.

Peristiwa kedua yang sangat penting bagi pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno berada di bawah tekanan besar untuk menciptakan landasan ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong bagi landasan ideologis berbasis pada agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di hadapan rapat tersebut, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno mengatakan: ‘Kita ingin menciptakan negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum aristokrat, bukan untuk orang kaya – tapi semua! Republik Indonesia bukanlah milik satu kelompok, juga bukan milik agama atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tapi milik kita semua mulai dari Sabang hingga Merauke.’

Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang sudah lama. Pak Soemitro bahkan ikut dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta melawan pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah putra dari Profesor Soemitro, beberapa orang mungkin mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa ia menentang Bung Karno karena pandangan politik yang bertentangan, terutama mengenai komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Beliau pernah berkata, ‘Tapi, anak-anakku, kalian semua harus ingat bahwa saya tidak pernah berkata bahwa Bung Karno bukan pemimpin hebat. Bung Karno adalah salah satu pemimpin teristimewa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang beragam, faksi politik, dan adat kebiasaan untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah mengatakan kepada kami bahwa, jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tapi malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itu memang apa yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Begitu juga harapan beberapa negara lain di sekitar kita. Itu juga yang pernah dikatakan ayah saya padaku. Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana, di awal tahun 1950an, ia mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak berkolaborasi dengan PKI. Suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan mengingatkannya. Bung Karno mengatakan kepada Pak Mitro, ‘Eh Mitro, ketika kau masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingat itu. Kamu hanya urusin ekonomi dan biarkan politik padaku. Aku mengerti politik Indonesia lebih baik darimu.’

Pak Mitro mengatakan bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Namun, menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak memiliki niat jahat. Saya hanya ingin Bung Karno tidak jatuh ke dalam perangkap. Saya yakin bahwa suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) pada suatu saat adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Tapi ketika ditawarkan posisi itu, ia sekali lagi mendorong Bung Karno untuk tidak bekerja sama dengan PKI. Bung Karno marah dengan keteguhan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro bercerita kepada saya, saya berkata padanya, ‘Pak, saya rasa Anda telah membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sisinya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan selama beberapa waktu sebelum mengakui, ‘Saya kira Anda benar, Bowo. Seharusnya saya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika ia sedang sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki penyesalan dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesali dalam hidup Anda?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Seharusnya saya tetap di sisinya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45 – mereka memiliki pandangan yang bertentangan, namun mereka saling menghormati satu sama lain. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam sikap kita karena, pada suatu saat, sikap kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berpostur tegap, karismatik, dengan senyuman lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Saya ingat beliau mengangkat saya seperti ingin melemparkan saya ke udara. Kemudian beliau menurunkan saya kembali ke tanah. Saya tidak ingat dengan tepat…

Source link