The Leadership of Indonesian National Leader Major General TNI (Ret.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik)

by -131 Views
The Leadership of Indonesian National Leader Major General TNI (Ret.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik)

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan diri seperti itu memungkinkan kita untuk melewati ujian kemerdekaan kita yang pertama dan menjadikan kita bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Tentara Pelajar, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Beliau adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak memahami politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Beliau merupakan salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Beliau bagian dari Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Daerah Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap generasi muda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang pelajar, kemudian mahasiswa kedokteran, pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI yang berpangkat tinggi.

Beliau sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya cenderung kiri; karena jiwa populisnya, yang terbentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena pandai di sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Beliau melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen kritis dan menentukan, dari bulan Oktober hingga November 1945.

Beliau memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang menjadi pertempuran paling sengit dan paling berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata senapan, senjata api, senjata mesin, dan meriam dari Jepang. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menggunakan meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah mereka yang membantu melatih pemuda-pemuda kita menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semua itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, beliau menuliskan bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sangat sadar bahwa saya adalah seorang yang tidak berarti, hanya salah satu dari para prajurit di tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niatan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda dari desa-desa. Pakaian kami hanya menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah berhasil merebut senjata-senjata tersebut, Hario Kecik mendirikan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), leluhur dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat bulan Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Memang, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dinyatakan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Mereka menguji apakah rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan tersebut.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 warga Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kami kehilangan 30.000 korban utamanya karena keunggulan Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengerahkan lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam. Anda dapat membayangkan kekuatan dan kekuatan tembak yang lebih unggul dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa semua pihak di pihak Indonesia bersatu. Para pemuda bersatu dengan masyarakat biasa, tukang becak, petani. Semua bersatu. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dengan batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti dari TNI pada tanggal 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri mereka menjadi batalyon resmi. Mereka adalah batalyon-batalyon mantan PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ada juga front pemuda, pasukan akar rumput dari berbagai komunitas. Ada yang terdiri dari para siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para pelajar, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok pada waktu itu.

Kembali ke Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apa pun yang musuh hadirkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, gairah, semangat, kemarahan murni di hati para pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana itu. Itu dimulai ketika saya bersama-sama dengan para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, pada saat kita mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, bentengnya yang lemah, dan faktor lainnya. Namun, para pemuda itu bertekad untuk mempertahankan markas sampai kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya tunduk kepada ’emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya memiliki beberapa jam untuk bersiap-siap.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dll. Kami sudah siap, dan tidak ada satupun dari kami yang ragu.

Kami merangkum strategi yang rumit menjadi satu motto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin secara bawah sadar, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat khawatir tentang hal itu. Kami harus bertempur melawan musuh keesokan harinya.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Begitulah semangat yang memungkinkan kita untuk mempertahankan kemerdekaan kita. Begitulah semangat yang memungkinkan kita melewati ujian kemerdekaan pertama dan menyatukan kita sebagai bangsa. Itu mungkin adalah ujian paska-kemerdekaan yang paling sulit.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan semangat seperti Hario Kecik dan teman-temannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan ceramah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia yang teladan.

Pahlawanisme yang diwujudkan oleh Hario Kecik terlihat jelas. Beliau menetapkan contoh untuk generasi selanjutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link