Leadership of Indonesian National Leader Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (Governor Suryo)

by -46 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus santun, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia adalah orang di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah yang paling penting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Itu adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan murid-murid madrasah Surabaya, melawan Tentara Inggris. Itu adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang sulit diperjuangkan dari Republik Indonesia.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, merenggut nyawa lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini diperingati setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai oleh kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara para pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi satuan tingkat peleton yang menduduki banyak pos di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang merupakan relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu terpencar di kota yang begitu besar seperti Surabaya. Brigade itu dihancurkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini membuat malu Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Angkatan Darat Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua orang Indonesia yang tidak diizinkan membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota tersebut menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum itu adalah pukul 18.00. Jika perintah tidak dipatuhi, Angkatan Darat Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada orang Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia merupakan bangsa besar yang mampu menahan serangan militer besar-besaran oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut pada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau, jika ia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini merupakan milik Gubernur Suryo.

Tepat sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada penduduk Surabaya melalui radio. Tidak seperti Bung Tomo, pidatonya tidak berapi-api. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk mengambil senjata membela Surabaya.

Sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menyala-nyala yang dapat membangkitkan massa, Governor Suryo dengan suara tenang namun tegas sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo berfungsi sebagai ‘teriakan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran sejarah. Hanya bisa dibayangkan emosinya saat dia berbicara kepada penduduk Surabaya.

Jauh lebih sulit untuk memahami, mengingat Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah ia tunjukkan kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIKOLONI LAGI!

Saudara-saudari,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah berupaya sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, itu semua sia-sia. Sekarang terserah pada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Semua upaya negosiasi kami telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, kami harus menegakkan dan mengukuhkan tekad kami untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berulang kali, kami telah menyatakan sikap kami: Kami lebih memilih hancur daripada direkoleksi. Sekarang, menghadapi ultimatum dari Inggris, kami akan menjaga sikap tersebut. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menghadapi setiap kemungkinan besok, mari kita semua menjaga kesatuan antara pemerintah, rakyat, tentara (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan rakyat. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan kepada kita kekuatan dan Berkah serta Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link