Pensiunan Jenderal Besar TNI H. M. Suharto

by -115 Views
Pensiunan Jenderal Besar TNI H. M. Suharto

Pak Harto adalah pribadi yang bekerja keras, sangat disiplin, dan detail. Saya menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari beliau tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Salah satu ciri khasnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatannya yang kuat, yang juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Beliau juga sangat pandai dengan angka. Beliau juga gemar membaca. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun beliau sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Beliau selalu tersenyum. Beliau jarang marah atau tampak marah. Ketika beliau marah, beliau akan diam. Dan beliau tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Itulah sebagian kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya seorang kapten dan telah menjalankan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama pada tahun 1976 saat saya menjadi Komandan Peleton Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua adalah pada tahun 1978, saat saya menjadi Komandan Kompi Para-Komando dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah kompi pasukan serbu langsung di bawah komando sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur yaitu Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Lalu saya di bawah Komandan Sektor Tengah yaitu Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang bekerja keras, sangat disiplin, tepat waktu, dan detail. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Beliau tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Pada pukul 01:00 siang, beliau pulang ke rumah untuk makan siang. Di sore hari, beliau bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin sampai Jumat, beliau menerima tamu. Beliau makan malam pada pukul 21:00. Lalu pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, beliau masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita bandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumah beliau relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak bersuite. Itulah sebabnya ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan folder di mejanya yang bisa mencapai ketinggian 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari pembantunya bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang beliau baca dan tandatangani setiap malam dari Minggu sampai Jumat. Hanya pada Sabtu malam beliau tidak akan ditemukan di mejanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, beliau akan bangun pukul 04:30 pagi atau pukul 05:00 paling lambat. Kadang-kadang beliau hanya tidur 3-4 jam. Hal ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan detailnya beliau. Kualitas unik lainnya adalah tulisan tangan yang rapi dan ingatan fotografinya. Beliau juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, saat saya baru saja diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemuinya. Beliau kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Beliau menceritakan pengalamannya sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasional Batalyon, dan banyak lagi. Beliau berbagi banyak teknik dan praktik praktis dan hal-hal granular. Beliau bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap mantan bawahannya. Saya kagum mendengar ceritanya. Saat itu, sudah 17 tahun sejak beliau meninggalkan Angkatan Darat dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalionnya selama puluhan tahun, masih begitu jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit militer di tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang beliau bagikan kepada saya saat saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal ini membuat Batalyon 328 sangat andal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon paling tajam selama bertahun-tahun. Juga ciri khas beliau adalah bahwa beliau sangat memahami filosofi Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto banyak mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filosofi Jawa. Hal ini wajar karena seluruh pendidikannya berlangsung di Indonesia, di desa asalnya di desa Kemusuk Yogyakarta. Kebanyakan bacaannya berasal dari para sarjana Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filosofi yang paling sering beliau ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang beliau terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Itu adalah kumpulan mawarid, ajaran, dan pepatah. Buku beliau sangat penting untuk memahami jiwa Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan sekadar slogan. Bagi banyak orang, ini menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia dalam kehidupan ini. Ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, ini menjadi suara kebijaksanaan yang dibawa selama berabad-abad. Oleh karena itu, mereka yang mengikuti ajaran ini memperoleh kebijaksanaan para pendahulu kami, leluhur kami, dan orang tua kami. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Suatu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu rekan-rekan bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka melaksanakan misi, Pak Harto akan memberi mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, beliau bertemu saya dan bertanya apakah benar bahwa saya akan melaksanakan operasi besok. Saya menjawab dengan tegas. Lalu beliau memberi saya tiga nasehat, “Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Pegang erat di hati Anda!” Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu beliau lakukan kepada anak-anaknya, cucu-cucunya, dan orang-orang yang beliau sayangi, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kita sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menceritakan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberi tahu mereka bahwa, untuk sementara waktu, saya juga terkejut dan agak kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberi tiga nasehat. Namun, selama perjalanan selama satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tiga nasehat yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Faktanya, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Beliau juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Beliau juga merupakan sosok kunci dalam menghentikan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima dengan pengalaman tempur yang luas, nasehat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link