BRIGADIER GENERAL TNI GUSTI NGURAH RAI DENGAN GELAR SELESAI SELAMAT MENINGGAL

by -244 Views
BRIGADIER GENERAL TNI GUSTI NGURAH RAI DENGAN GELAR SELESAI SELAMAT MENINGGAL

Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI berikutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat bertempur seorang prajurit sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang total (tradisi puputan) yang digelorakan olehnya membangkitkan semangat bertempur pasukannya dan memerangi Belanda sampai pada titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan perang hingga napas terakhirnya.

Setelah pengumuman Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatif sendiri untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut sebagai Sunda Kecil.

Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta mulai melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, Belanda melakukan serangan ofensif. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan menyergap pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda telah mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, maka ia beserta pasukannya akan diampuni. Tawaran tersebut datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, kekuatan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum Jepang tiba. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Pada satu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Namun, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran untuk menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran tersebut datang dari Konig, atasannya yang dulu. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah pimpinannya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat dari Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami menerima tawaran Anda. Kami dengan ini mengajukan jawaban sebagai berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kita. Sejak pendaratan pasukan Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan pada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukanlah tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk mengorbankan. Atas nama rakyat Bali, saya hanya ingin lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau sebaliknya saya bisa menjanjikan Anda bahwa kami akan terus melawan hingga tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi medan pertempuran antara tentara Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Begitulah ketangguhan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotisnya dan ketidakmauannya untuk berkompromi dalam pengabdian untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran dari Belanda untuk menyerah dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti perang total. Oleh karena itu perang ini dinamakan pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang total”. Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan senjatanya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam / Panglima Daerah Militer saat ini), dan pasukannya terus bertarung tanpa kenal lelah.

Pertempuran dahsyat dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan yang terdengar dari pihak Indonesia di sore hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran telah gugur, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI berikutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link