Pengalaman Kepemimpinan dari Letnan Jenderal TNI [Purn] Kemal Idris

by -96 Views

Berikut adalah hasil penulisan ulang dari artikel di atas:

Usia saya pada saat itu masih 17 tahun ketika saya baru saja kembali dari luar negeri. Saya mengenal Pak Kemal Idris sebagai tokoh TNI yang terkenal, salah satu tokoh kunci Angkatan Darat pada awal Orde Baru. Beliau, bersama dengan Letnan Jenderal TNI HR Dharsono, Surono (saat itu Mayor Jenderal TNI Surono yang kemudian menjadi Jenderal TNI KASAD dan Wapangab), serta Kolonel Infanteri (saat itu) Sarwo Edi Wibowo, merupakan tokoh-tokoh kunci yang mendukung Pak Harto setelah G30S/PKI hingga Pak Harto menjadi Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Bung Karno.

Pak Kemal Idris sering disebut- sebut di kalangan keluarga saya. Beliau adalah sahabat dekat paman saya, Subianto Djojohadikusumo, yang gugur dalam peristiwa Lengkong bersama Mayor Daan Mogot dan para Taruna dari Akademi Militer Tangerang pada tanggal 25 Januari 1946. Ketika saya bertemu dengannya, beliau mengatakan bahwa paman saya adalah orang yang sangat berani dan jika masih hidup, akan menjadi Pangkostrad. Beliau mendorong saya untuk mengikuti jejak paman saya yang dulu sangat berani.

Saya belajar bahwa Pak Kemal Idris adalah orang yang sangat patriotik, pemberani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris adalah batalyon TNI pertama yang masuk ke ibu kota setelah kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia oleh Belanda. Waktu itu Pak Kemal Idris berpangkat Mayor dan sangat terkenal.

Sifat-sifat Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikap terbuka, humoris, jujur, dan selalu berpihak kepada rakyat kecil. Namun, ada kekurangan juga, karena beliau sering emosional dan mengambil keputusan terlalu cepat sebelum mengetahui situasi sebenarnya.

Pak Kemal Idris memberikan banyak nasihat dan pengalaman kepemimpinan kepada saya selama perjalanan hidupnya. Ketika beliau sakit, saya sempat diberi tahu dan mengunjunginya di rumah sakit di Menteng. Beliau berpesan kepada saya untuk terus berjuang dan menjaga Republik ini.

Ketika beliau meninggal, saya bisa merasakan getaran jiwa beliau di saat-saat terakhir hidupnya. Saya hormat pada beliau dan air mata saya tak terbendung. Saya juga sudah berhenti sebagai Pangkostrad pada waktu itu.